
M A L A N G - Sudah lebih dari dua dekade, tiga warga di kawasan Perumahan Bukit Cemara Tujuh (BCT), Kecamatan Dau, Kabupaten Malang, harus menanggung nasib pahit. Lahan milik mereka seluas kurang lebih 1.200 meter persegi tak dapat dimanfaatkan lantaran akses jalan menuju tanah tersebut tertutup tembok perumahan. Persoalan yang berlarut-larut ini akhirnya mendapatkan perhatian serius dari DPRD Kabupaten Malang. Pada Kamis (2/10), Ketua Komisi III dan Anggota Komisi IV DPRD Kabupaten Malang turun langsung ke lokasi bersama pihak Pemerintah Desa Landungsari untuk meninjau kondisi di lapangan.
Ketua Komisi III, Tantri Bararoh menegaskan bahwa pihaknya berkomitmen mencari solusi terbaik agar permasalahan ini dapat diselesaikan dengan adil dan berimbang. "Kami ingin ada win-win solution untuk kepentingan masyarakat. Jangan sampai ada warga yang dirugikan karena persoalan akses jalan seperti ini,"tegas Tantri di lokasi peninjauan.
Dari hasil tinjauan tersebut, DPRD berencana memberikan sejumlah rekomendasi penting kepada Pemerintah Kabupaten Malang. Salah satu diantaranya adalah pembukaan akses menuju lahan warga yang selama ini tertutup, serta dorongan agar pengembang segera menyerahkan Prasarana, Sarana, dan Utilitas (PSU) perumahan kepada pemerintah daerah. Penyerahan PSU ini dinilai menjadi langkah krusial untuk memastikan bahwa fasilitas umum di kawasan perumahan dapat dikelola dan diawasi oleh Pemkab Malang, sehingga hak masyarakat tidak terabaikan. Selama PSU belum diserahkan, pengembang masih memiliki tanggung jawab penuh atas fasilitas umum di dalam kawasan, termasuk akses jalan, drainase, dan ruang terbuka publik.
Menurut Tantri, masalah semacam ini kerap muncul akibat keterlambatan pengembang dalam menyerahkan PSU kepada pemerintah daerah. Hal itu menyebabkan posisi warga menjadi lemah secara administratif ketika terjadi konflik di lapangan. "Kalau PSU sudah diserahkan, pemerintah bisa turun langsung dan mengambil tindakan sesuai kewenangan. Tapi selama belum, warga sering kali terjebak dalam situasi seperti ini, tanpa kepastian,"ujarnya.
Meski demikian, permasalahan ini belum menemui titik terang karena pengembang dan warga saling tuding soal siapa pihak yang menutup akses jalan tersebut. Warga menyebut bahwa peutupan dilakukan oleh pengembang tanpa sosialisasi, sementara pengembang berdalih bahwa akses itu berada di luar site plan perumahan yang telah disetujui. DPRD juga meminta DPMPTSP Kabupaten Malang untuk menindaklanjuti hasil tinjauan ini dengan kajian perizinan secara menyeluruh. Jika ditemukan adanya ketidaksesuaian antara dokumen izin dan kondisi lapangan, DPRD mendesak agar Pemkab mengambil langkah tegas terhadap pengembang
Selain itu, DPRD berencana memfasilitasi mediasi antara warga, pengembang, dan pemerintah daerah, agar penyelesaian dapat ditempuh melalui dialog terbuka. Langkah ini diharapkan bisa mempercepat tercapainya kesepakatan bersama yang tidak merugikan salah satu pihak. Pemdes Landungsari menyambut baik langkah DPRD yang turun langsung ke lokasi. Pemerintah Desa berharap agar proses mediasi segera dilakukan agar lahan warga dapat kembali dimanfaatkan.
Selain permasalahan akses, DPRD juga menyoroti pentingnya keterlibatan pemerintah desa dalam proses perencanaan pembangunan perumahan. Menurut Tantri, ke depan perlu ada pengawasan lebih ketat agar pembangunan kawasan permukiman tidak menimbulkan dampak sosial bagi masyarakat sekitar. Warga yang terdampak pun menyampaian harapan agar masalah ini segera diselesaikan. Mereka mengaku telah lama berjuang mencari keadilan, namun belum mendapat kepastian hukum. Salah satu warga mengungkapkan bahwa lahan tersebut merupakan milik keluarga yang semula dapat diakses dari jalan umum sebelum tertutup oleh pembangunan perumahan.
"Kami hanya ingin bisa masuk ke tanah kami sendiri. Kami punya sertifikat yang sah, tapi sudah bertahun-tahun tidak bisa berbuat apa-apa karena jalannya ditutup,"ujar salah satu pemilik lahan. Dengan adanya perhatian dari DPRD dan Pemkab Malang, warga berharap permasalahan ini dapat segera terselesaikan. Mereka menanti agar lahan yang telah mereka miliki secara sah bisa kembali diakses dan digunakan sebagaimana mestinya.
Langkah DPRD Kabupaten Malang ini diharapkan menjadi titik awal penyelesaian konflik antara warga dan pengembang yang sudah menahun, serta menjadi pelajaran penting agar kejadian serupa tidak terulang di kawasan perumahan lain di Kabupaten Malang. Sebagai penutup, kasus ini menjad pengingat penting bahwa pembangunan perumahan tidak sekadar urusan bisnis dan infrastruktur, tetapi juga menyangkut hak dasar masyarakat terhadap akses dan keadilan ruang. Pemerintah daerah diharapkan memperkuat pengawasan perizinan, sementara pengembang dituntut lebih bertanggung jawab secara sosial, karena pada akhirnya pembangunan yang berkeadilan bukan hanya membangun tembok dan bangunan, tetapi juga menjaga harmoni antara kemajuan dan hak warga di sekitarnya.